Rabu, 09 Januari 2008

Mengenal Kesalahan Pada Komputer

Mengenal Kesalahan pada Komputer



Sebelum mengupas tentang cara kerja dari komputer, ada baiknya kita mengenal hal-hal yang berkaitan dengan kesalahan yang ditemukan dalam sistem komputer ini, kesalahan ini ditemukan dalam bermacam-macam kasus, baik pemrograman, maupun dalam bidang lainnya dalam proses yang dilakukan dengan menggunakan komputer.

Jenis error apa sajakah yang mungkin ditemukan dalam suatu proses? Berikut jenis error yang ada dalam suatu proses:


*Syntax error,
*Logical error
*Run-time error
Makna dari masing-masing error kita lihat lebih dalam di bawah ini.

Syntax Error

Adalah kesalahan yang diakibatkan karena penulisan atau tata bahasa yang tidak benar. Error ini membuat pihak yang diminta untuk mengerjakan sesuatu menjadi bingung, sehingga tidak bisa melakukan perintah tersebut. Contohnya adalah,


*Nasi Budi makan, penulisan kalimat tersebut tidak mengikuti kaedah penulisan tata bahasa Indonesia yang benar, yang benarnya adalah Budi makan nasi, gitu kan?
*Alamat situsnya adalah htp://www.hotmail.com/ terdapat kesalahan penulisan pada kata htp yang seharusnya adalah http://www.hotmail.com/
*Emailnya adalah jack.febrian.com, hal ini tidak benar karena yang disebutkan adalah alamat internet. Yang benarnya adalah jack@febrian.com, dan seterusnya.
Apabila terjadi kesalahan jenis ini, proses tidak akan diberhentikan, atau tidak dilanjutkan, sampai yang bersangkutan menulis perintah membenarkan perintah tersebut.

Logical Error

Adalah jenis kesalahan secara logika. Jika ditemukan kesalah dengan jenis ini, proses tetap dilanjutkan, namun tidak berjalan sebagaimana mestinya. Misalnya


*Buka halaman 6, padahal yang dimaksud adalah halaman 9. bagaimana informasi yang anda temukan? Tentu berbeda dengan yang semestinya anda inginkan.
*Pada saat mengisikan suatu data pada suatu form pendaftaran online, Jack – katakanlah demikian – mengisikan data pada jenis kelamin secara tidak sengaja dan kurang hati-hati dengan jawaban perempuan, padahal seharusnya diisi dengan laki-laki. Apa yang terjadi? Proses penyimpanan tetap dilakukan tanpa menampikan kesalahan, namun akibatnya? Setiap ada ucapan selamat datang, komputer selalu menyapa, “Selamat datang mbak Jack”, ihiks... :(
*Seseorang akan melakukan transaksi perbankan secara online melalui internet melalui fasilitas yang disediakan oleh BCA. Kemudian beliau menuju ke alamat yang diberikan bank tersebut, dengan mengetikkan http://www.kilkbca.com/ apa yang terjadi? Inilah yang sempat dihebohkan beberapa waktu yang lalu di Indonesia, orang tadi ternyata disambut oleh situs BCA palsu, dengan tampilan situsnya sama dengan yang disediakan oleh situs BCA asli. Waktu dia mengisikan passwordnya, tentu pemilik situs palsu tersebut dapat saja merekam password tadi, tahu sajalah apa akibatnya yang mungkin terjadi. Padahal, alamat yang disediakan oleh BCA asil adalah di http://www.klikbca.com/
*Anda ingin menghubungkan mouse ke komputer melalui kabel USB, namun kabel yang anda colokan ke USB adalah kabel yang terhubung dengan hubungkan adalah kabel printer.
Kesalahan dalam logika ini akan mengakibatkan hasil suatu proses tidak sesuai dengan yang diharapkan, umumnya proses ini tidak berhenti karena kesalahan logika ini. Nah, kita memang harus hati-hati dengan kesalahan secara logic ini. Sistem akan memberikan informasi sesuai dengan yang anda berikan. Makanya ketelitian diperlukan di sini.

Run-time Error

Kesalahan jenis ini disebabkan karena waktu suatu perintah dieksekusi, sistemnya sendiri yang tidak siap menerima perintah tersebut, bisa saja disebabkan permintaan yang anda lakukan sedang tidak tersedia, atau karena penyebab secara teknis lainnya. Misalnya:


*Anda mau mendengarkan radio, listriknya belum disambungkan, ya harus disambungkan dulu listriknya, baru bisa menikmati suara radio.
*Mau melihat berita di situs berita, alamat yang diketikkan sudah benar, komputer juga udah terhubung dengan internet, situs lain yang dikunjungi tidak ada masalah, tetapi kok situs berita tersebut nggak bisa diakses-akses. Ternyata server situs berita itu sendiri yang sedang down (istilah yang digunakan kalau server tidak aktif atau mati)
*Ketika sedang jalan-jalan di internet, anda tertarik dengan suatu gambar atau informasi, lalu anda ingin menyimpannya ke disket, tetapi kok waktu menyimpan informasi tersebut selalu saja gagal. Disket sudah dimasukkan dengan benar. Ternyata penyebabnya adalah disket yang digunakan rusak.
Kesalahan jenis run-time error ini mengakibatkan proses dihentikan seketika, umumnya sistem memberitahukan kondisi yang diketahuinya jika ditemukan masalah seperti ini.

Komersialisasi Pendidikan Tinggi

Komersialisasi Pendidikan Tinggi



Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk Research & Development (R&D) serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Secara umum dunia pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian.



Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan perguruan tinggi kita untuk memenangkan persaingan, menunjukkan bahwa pendidikan kini cenderung dipakai sebagai ajang bisnis. Pola promosi yang memberikan kemudahan dan iming-iming hadiah merupakan suatu gambaran bahwa perguruan tinggi tersebut tidak ada inovasi dalam hal kualitas pendidikan. Kecenderungan tersebut akan menghancurkan dunia pendidikan, karena akhirnya masyarakat bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar hadiah & gelar untuk prestise. Kondisi pendidikan tinggi saat ini cukup memprihatinkan. Ada PTS yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan ada PTS yang hanya menjadi mesin pencetak uang, bukan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Hal Ini yang membuat persaingan menjadi semakin tidak sehat.



Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan dan bahkan akal-akalan, juga cenderung menghalalkan segala cara untuk merekrut calon mahasiswa sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang terkadang menjebak dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Apakah ini gambaran pendidikan berkualitas ?. Semoga masyarakat dan orang tua yang akan menyekolahkan putra putrinya tidak terjebak pada kondisi tersebut dan lebih bijak dalam memilih perguruan tinggi, sehingga putra-putrinya tidak terkesan asal kuliah.



Ditengah besarnya angka pengangguran di Indonesia yang telah mencapai lebih dari 45 juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah mencari pendidikan yang baik dan bermutu yang dibutuhkan pasar. Bukan hanya murah saja dan asal. Tidak dipungkiri lagi bahwa selama ini, dunia industri kesulitan mencari tenaga kerja dengan keahlian tertentu untuk mengisi kebutuhan pekerjaan. Bila membuka lowongan, yang melamar biasanya banyak, namun hanya beberapa yang lulus seleksi.



Pasalnya jarang ada calon pegawai lulusan perguruan tinggi atau sekolah, yang memiliki keahlian yang dibutuhkan, karena kebanyakan berkemampuan rata-rata untuk semua bidang. Jarang ada yang menguasai bidang-bidang yang spesifik. Hal ini tentunya menyulitkan pihak pencari kerja, karena harus mendidik calon karyawan dulu sebelum mulai bekerja.



Sebagian besar perguruan tinggi atau sekolah mendidik tenaga ahli madya (tamatan D.III) tetapi keahliannya tidak spesifik.



Lebih parah lagi, bahkan ada PTS di Jakarta yang memainkan range nilai untuk meluluskan mahasiswanya, karena mereka takut, ketika selesai ujian akhir (UTS/UAS) banyak mahasiswanya yang tidak lulus alias IP/IPK nasakom. Sehingga mereka lulus dengan angka pas-pasan yang sebenarnya mahasiswa tersebut tidak lulus. Ini adalah cermin dari proses PEMBODOHAN BANGSA bukan mencerdaskan BANGSA. Dalam hal ini semua pihak harus melakukan introspeksi untuk bisa memberi pelayanan pendidikan yang baik & berkualitas. Kopertis, harus bersikap tegas menindak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang melanggar dan mensosialisasikan aturan yang tak boleh dilanggar oleh PTS. Pengelola perguruan tinggi juga harus menghentikan semua langkah yang melanggar aturan. Kunci pengawasan itu ada secara bertahap di tangan Ketua Program Studi, Direktur, Dekan, Rektor dan Ketua Yayasan.



Selain itu pula, apa yang menjadi barometer yang menunjukkan eksistensi sebuah perguruan tinggi? Untuk saat ini opini publik dan beberapa kalangan masyarakat bahwa eksistensi sebuah Perguruan Tinggi dilihat dari kuantitas mahasiswanya bukan kualitasnnya. Nah ini jelas sudah terlihat faktanya bahwa pendidikan di Indonesia hanya menjadi komoditi bisnis semata.



Menatap masa depan berarti mempersiapkan generasi muda yang memiliki kecintaan terhadap pembelajaran dan merupakan terapi kesehatan jiwa bagi anak bangsa, harapan kami semoga komersialisasi pendidikan tinggi tidak menjadi sebuah komoditi bisnis semata, akan tetapi menjadi arena untuk meningkatkan kualitas SDM dalam penguasaan IPTEK, sehingga kita bisa mempersiapkan tenaga handal ditengah kompetisi global. mulailah dari diri sendiri untuk berbuat sesuatu guna menciptakan pendidikan kita bisa lebih baik dan berkualitas, karena ini akan menyangkut masa depan anak-anak kita dan Juga Bangsa Indonesia.

Islam Dan Tantangan Global

Islam Dan Tantangan Global

Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Sebagai mayoritas tentu ia menjadi determinan penting dalam ikut mempengaruhi arah kepolitikan bangsa. Pada konteks demikian tentu saja segenap pilihan-pilihan politik umat Islam akan memunculkan reaksi, apresiasi, ataupun koreksi dari para policy-maker, tidak saja di dalam negeri namun juga di luar negeri. Dan itulah konteks di mana umat Islam berada, yakni secara internal, dalam makna hubungan berbagai kelompok dan satuan sosiologis masyarakat dalam konteks negara kesatuan republik Indonesia, dan konteks eksternal, dalam makna hubungan Indonesia dengan negara lain.

Dalam perkembangan selanjutnya, kedua konteks tersebut semakin mendapatkan energi geraknya dalam mempengaruhi dinamika kehidupan kita sebagai bangsa. Terlebih jika mempertimbangkan faktor globalisasi. Sebuah faktor penting yang tak mungkin diabaikan dewasa ini. Salah satu sebab dari pernyataan ini tentu saja adalah apa yang terjadi di Amerika, sebagai contoh, sedikit ataupun banyak akan memiliki imbas dalam kehidupan dalam negeri. Dan karenanya, mengetahui lebih jauh tentang dinamika politik umat Islam dan kaitannya dengan globalisasi menjadi sangat penting. Terlbih jika kita ingin mengetahui lebih jelas bagaimana umat Islam memainkan peran-perannya dalam dinamika yang sangat intens tersebut.

Dari mana sebenarnya pembicaraan bisa kita mulai, bisa jadi adalah pertanyaan elementer yang memunculkan jawab begitu beragam di kalangan umat Islam sendiri. Dan itulah memang fakta yang kita hadapi, satu agama, satu Tuhan, satu kitab suci, namun banyak ragam tafsir, penghayatan atas sejarah, dan ijtihad sebagai respons atas berbagai persoalan yang dihadapi. Kondisi ini tentu bukan hal yang “ajaib” namun lebih sebagai bentuk respons kolektif terhadap berbagai dinamika sosial, politik, dan budaya, global maupun lokal. Di dalamnya, ragam penafsiran sejarah dan perspektif atas realitas sosial berkembang seiring dengan pertumbuhannya dari masa ke masa. Maka perbedaan tersebut membentuk corak partisipasi dan kepentingan Islam politik yang tidak tunggal, dan di situlah sebenrnya kekuatan Islam berada. Yakni dinamika pemikiran umat Islam yang lahir dengan menimbang segenap perubahan yang terjadi. Tidak heran ketika segenap “gerak-gerik” umat Islam selalu mewarnai kehidupan sosial dan penentuan policy bangsa Indonesia.

Dalam konteks respons umat Islam, apresiasi atas perubahan di tingkat lokal maupun global memang senantiasa beragam. Ini terjadi karena setiap satuan kecil sosiologis umat Islam memiliki corak dan ragam penghayatan atas maslah yang berbeda-beda. Bahkan tidak jarang perbedaan tersebut menimbulkan gesekan dan konflik di tingkat masyarakat. Ragam penyikapan tersebut pada satu sisi harus diterima secara positif, dalam arti dinamika yang muncul di dalamnya harus ditempatkan sebagai energi penggerak umat Islam itu sendiri. Meskipun, di sisi yang lain, perlu antisipasi serius tatkala perbedaan tersebut, pada tahap tertentu, menjadi medium paling efektif bagi munculnya sosial-disorder. Antisipasi ini penting karena pergesekan yang terlalu intens bukan tidak mungkin akan menjadi pintu bagi munculnya eskalasi konflik berskala luas. Dan karena umat Islam adalah mayoritas, maka konflik yang terjadi di dalamnya pasti akan sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Antisipasi diperlukan terutama saat perbedaan yang meruncing dan bermuara menjadi konflik tersebut mengancam eksistensi dan ketahanan nasional.

Dalam titik hubung antara dinamika umat Islam yang sangat beragam dengan kepentingan memelihara social-order dan eksistensi ketahanan nasional itu kiranya diperlukan formula strategi berjangka panjang yang efektif dan memadai, untuk mengakomodasi perbedaan gerak dan pemikiran umat Islam di negara kita. Formula ini penting terutama jika menghitung sensitifitas isu yang berkembang di kalangan umat Islam itu sendiri. Sejauh mana pengaruh yang ditimbulkannya di level masyarakat, dan seberapa tinggi intensitas pergesekannya. Terutama ketika harus menyikapi berbagai bentuk respons umat Islam atas realitas dan peristiwa global yang semakin intens dan kuat pengaruhnya terhadap kehidupan dalam negeri Indonesia.
Taksonomi Islam Indonesia

Dalam konteks ini penting kiranya untuk dibicarakan tentang arus besar dalam umat Islam Indonesia. Terutama untuk mengetahui corak dan karakter masing-masing arus yang ada dan selanjutnya mengetahui persebaran pengaruhnya dalam masyarakat. Penting kiranya kita memperhatikan analisis yang dilakukan oleh beberapa pemikir dewasa ini.

Munawir Sjadzali, misalnya, mengelompokkan aliran Islam politik ke dalam tiga varian besar : Pertama, adalah kelompok umat Islam yang secara umum berpendirian bahwa: 1). Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan Barat. 2). Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad dan oleh empat Al-Khulafa al-Rasyidin.

Kedua, adalah kelompok yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara.

Ketiga, aliran ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yag hanya mengatur hubungan antar manusia dan maha penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.

Pengelompokan aliran politik diatas, setidaknya menggambarkan respon politik Islam atas Peradaban Barat, Globalisasi dan Modernisasi. Sekaligus sebagai objek pencitraan oleh orang-orang di luar Islam. Sebab pondasi pemikiran yang dianut oleh aliran tertentu, kerap mencerminkan aksi Islam politik dalam merespon berbagai fenomena untuk memenuhi partisipasi politiknya.
Islam “Faksi” Politik

Konsepsi Islam politik seringkali dikaitkan dengan pergumulan antara Islam dan Barat/Amerika. Term Islam politik ini muncul pasca perang dingin, dimana telah terjadi pergeseran peta politik dunia, Uni Soviet yang menganut ideologi sosialis-komunis awalnya dianggap menjadi lawan oleh Barat yang menganut ideologi liberal dan kapitalis telah runtuh dan hancur dengan ditandai oleh runtuhnya Tembok Berlin, bergeser dan (di)muncul(kan) musuh baru yakni Islam Politik itu.

Pergeseran yang dimaksud adalah -setelah berakhirnya perang dingin- telah muncul asumsi-asumsi dari kalangan Barat (terutama kalangan konfrontasionalis, kelompok yang menganggap bahwa Islam semenjak kelahirannya merupakan ancaman bagi Barat yang Kristen) bahwa kelompok Islamis atau ada juga yang menyebutnya Islam militan atau Islam fundamentalis yang menyeruak ke permukaan dan dianggap menjadi musuh atau ancaman baru dalam mewujudkan tatanan dunia yang penuh damai. Persepsi demikian seringkali ditegaskan dalam perdebatan diantara kalangan intelektual Amerika untuk memberikan masukan mengenai rumusan kebijakan-kebijakan politik luar negeri Amerika bahwa Islam adalah 'setan besar' setelah Rusia yang dapat mengoyak pertahanan dan keamanan Dunia.

Pandangan semacam ini didasari oleh pemahaman bahwa Islam semenjak kelahirannya adalah musuh bagi Barat yang beragama Kristen1) . Islam dianggap sebagai agama pedang, dilahirkan oleh pedang dan berkembang dengan pedang2) . Islam juga tidak dapat menerima konsep demokrasi yang sebagaimana dikembangkan oleh Barat.

Dalam perkembangannya ada tiga kelompok Islam Politik: Pertama, adalah kelompok yang pro dengan Barat. Barat dianggap sebagai sebuah fakta sejarah yang tidak dapat dinafikan keberadaannya sebagai pemilik otoritas dalam menentukan kebijakan internasional. Barat adalah simbol kemajuan, kemoderenan. Kelompok ini menerima sepenuhnya ide-ide Barat dalam bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya. Barat dianggap sebagai pusat peradaban kontemporer, dan Islam mesti dapat menerimanya sebagai sebuah fakta sejarah yang tidak dapat dielakkan. Disamping klaim-klaim yang bersifat pengagungan sebenarnya juga ada keterkaitan politis yang bersifat pragmatis dan kepentingan kerjasama ekonomi bilateral seperti negara Arab Saudi, Republik Islam Iran era Syah, sebelum revolusi tahun 1979 serta negara-negara Islam timur tengah lainnya yang memiliki hubungan erat dengan Barat/Amerika.

Kedua, adalah kelompok yang anti dengan Barat secara total. Kelompok ini menganggap Barat adalah 'musuh' yang harus dilawan. Barat seringkali diidentikkan dengan 'musuh', 'penjajah' serta bangsa mendominasi atau menghegemoni negara bangsa dunia terutama bangsa-bangsa Islam. Begitu pula, kelompok ini meyakini Islam adalah sebuah konsep yang sangat sempurna. Islam datang dengan nilai-nilai yang ideal bagi tatanan kehidupan yang sempurna. Idealitas Islam baik yang terekam dalam ajaran-ajaran primer maupun dalam perjalanan sejarahnya dijadikan sebagai worldview atau referensi utama dalam membangun peradaban dunia.

Ketiga, adalah kelompok yang biasa menyebut diri sebagai kelompok yang moderat, dalam mana mereka tidak sepenuhnya mendudukkan Barat sebagai 'lawan' atau menganggapnya sebagai 'ancaman' bagi Islam. Akan tetapi sangat kritis tapi juga akomodatif terhadap nilai-nilai yang ada di luar Islam. Sebab dasar pemahaman yang digunakan adalah bahwa Islam adalah sistem didedikasikan bagi semua tanpa terkecuali. Sedangkan sistem nilai yang dimiliki Barat dianggap tidak semuanya buruk dan kadang sesuai dengan Islam, misalnya saja konsep demokrasi, pluralisme, toleransi, egaliterianisme, competitifness, dan lain-lainnya.
Globalisasi dan Modernisasi

Globalisasi merujuk pada hilangnya batas-batas geografis yang sebelumnya menjadi matra pengikat solidaritas bagi masyarakat di satu negara, benua, ataupun satuan wilayah lainnya. Ia bertautan dengan fenomena menyatunya ikatan-ikatan solidaritas di bawah kepentingan untuk menjaga tegaknya tatanan dunia baru demi terwujudnya perdamaian.

Namun masih sederet perdebatan mengenai teorisasi globalisasi sebagaimana diinformasikan oleh David Held dan Anthony Mc Grew, bahwa tidak ada definisi globalisasi yang tepat yang disepakati bersama. Globalisasi dapat dipahami dalam pemahaman yang beragam sebagai kedekatan jarak, ruang dan waktu yang menyempit, pengaruh yang cepat, dan dunia yang menyempit. Perbedaannya hanya terletak pada penekanan dari sudut pandang material, ruang dan waktu, serta aspek-aspek kognitif dari globalisasi. Dari sudut pengistilahan kata globalisasi sebenarnya masih mengalami problem karena relatifitas serta subyektifitas pemakaian kata tersebut. Namun globalisasi secara sederhana dapat ditujukan dalam bentuk perluasan skala, pengembangan wilayah, dan percepatan pengaruh dari arus dan pola-pola inter-regional dalam interaksi sosial3) .

Ada pula yang memaknainya secara verbal sebagai proses melenyapnya dinding dan jarak antar satu bangsa dengan yang lain, antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain, sehingga semua menjadi dekat lalu timbullah istilah kebudayaan dunia, pasar dunia, keluarga dunia. Sebagian yang lain pun ada yang mengatakan bahwa globalisasi adalah berubahnya dunia menjadi perkampungan dunia.

Seorang ahli ekonomi dan sosiologi terkenal, Dr. Jalal Amin mengatakan bahwa globalisasi adalah penyempitan jarak secara cepat antara masyarakat manusia, baik yang berkaitan dengan perpindahan barang, orang, modal, informasi, pemikiran, maupun nilai-nilai.

Menurut Anthony Giddens bahwa beberapa aspek yang masih diperdebatkan adalah bagaimana seharusnya istilah tersebut difahami, apakah istilah itu sesutu yang memang baru atau tidak dan apa konsekuensinya. Sebab ada yang memandang bahwa globalisasi merupakan kelanjutan dari trend yang sudah lama mapan, yakni liberalisasi. Lebih lanjut, dengan mengikuti teori Paul Hilst dan Graham Thompson, Giddens mengatakan bahwa globalisasi merupakan kelanjutan dari fenomena ekonomi yang kini menuju pada arah global. Tetapi menurutnya pandangan-pandangan yang ada tidaklah merepresentasikan globalisasi secara utuh mengingat cakupannya yang sangat luas dan menggejala ke dalam berbagai sektor. Globalisasi pada kenyataannya bukan hanya tentang saling ketergantungan ekonomi, tetapi lebih mengenai transformasi ruang dan waktu yang berskala luas dalam kehidupan kita.

Yusuf Qardhawi, seorang pemikir muslim kenamaan dengan pemahaman yang sedikit agak menyempitkan dan dengan tafsiran yang agak negatif mengatakan bahwa globalisasi mengandung arti menghilangnya batas-batas kenasionalan dalam bidang ekonomi (perdagangan) dan membiarkan sesuatu bebas melintas dunia dan menembus level internasional, sehingga dapat mengancam nasib suatu bangsa atau negara4) . Namun dalam tulisan yang lain ia mengatakan bahwa globalisasi juga bisa berarti eliminasi batas-batas teritorial antara suatu bangsa dengan bangsa yang lain, antara tanah air yang satu dengan tanah air yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain yang disebabkan adanya perkembangan secara pesat teknologi komunikasi, transformasi dan informasi5) .
Islam Menurut Ramalan “Barat”

Samuel P. Huntington dengan tesisnya “The Clash of Civilization” menempatkan Islam (dalam konteks sebagai sebuah peradaban dunia) pada urutan keempat setelah peradaban Eropa, Konfusius, dan Jepang dalam delapan blok peradaban yang dalam ramalannya akan terlibat dalam perbenturan besar antar peradaban yang berkepanjangan. Selanjutnya peradaban Barat pun dianggap Huntington mempunyai dua varian, Eropa dan Amerika Utara. Sedangkan Islam dibedakan menjadi tiga: Arab, Turki, dan Melayu. Karena itu, Islam akan turut memainkan peran penting dalam arena Internasional untuk terlibat dalam perbenturan dengan tujuh peradaban lainnya.

Lebih menarik lagi tesis Jean B. Picchat yang menjelaskan beberapa fenomena yang memancing kecemasan Barat, yaitu: Pertama, Fenomena Demografis, suatu yang menakutkan, bagi Barat telah terjadi. Bahwa sensus penghuni dunia mengalami peningkatan tajam, baik secara kwalitatif ataupun menurut grafik pertumbuhan itu sendiri. Berangkat dari satu perhatian bahwa jumlah penduduk pada masa pertama datangnya al Masih tidak sampai sekitar 250 juta jiwa-meski kemudian angka ini melonjak pada tahun 1800 (atau sekitar 18 kurun setelah kelahiran agama ini) menjadi 945 juta atau mengalami pertumbuhan sekitar 5%, namun setelah berselang 139 tahun (1939) jumlah penduduk ternyata telah sampai pada hitungan dua milyar, 195 juta jiwa. Lalu sekurang-kurangnya 50 tahun kemudian (1950) jumlah pendudukmenjadi 4.453 milyar atau bertambah sekitar 2.258 milyar. Angka ini kemudian melonjak lagi. Jumlah penduduk dunia tahun 1985 sudah sampai pada hitungan berbahaya, 4.842 milyar. Dan ketika dunia memasuki tahun dua ribuan, diperkirakan akan mencapai jumlah 6 milyar penduduk dunia.

Kedua, Fenomena ekonomi dan sumber daya. Menurutnya, dua hal tersebut akan menemui kenyataan yang menyedihkan, khususnya di wilayah-wilayah miskin. Atau tempat-tempat yang dikenal sekarang sebagai tempat terjadinya perkembangan negatif dalam segi pembangunan ekonomi, disamping dengan menurunnya bahan logistik di sisi alin. Kekhawatiran Picchat ini menguat ketika ia coba kaitkan dengan masalah jumlah penduduk Eropa di tahun 2000, yang menunjukkan perkembangan yang surut terhadap angka kelahiran hingga membuatnya berkesimpulan, bahwa pada tahun 2004, Barat dari segi revolusi kemanusiaan lemah.

Ketiga, Fenomena agama dan peradaban. Phiccat mengidentifikasi telah terjadinya penyebaran beberapa peradaban secara pesat dalam empat dekade terakhir. Paralel dengan grafik pertumbuhan demografi diatas. Sepanjang tahun 1980-an kristen mewakili sekitar 31,1%. Hal yang sama juga dialami oleh Cina (Kunfucian). Sedang pada saat itu, meski tingkat pertumbuhan penduduk Islam menurun pada poin sekitar 0,3%, namun jumlah pengikutnya telah bertambah 57 juta.

Realitas ini diramalkan akan berbalik ketika dunia memasuki tahun 2000an, dimana Kristen akan mengalami kemunduran sebanyak 2,3 point dibanding tahun 1985. Meskipun Kristen memang masih memegang ranking teratas untuk penduduk dunia, akan tetapi Islam pada saat ini justru naik mendapat 6 point dan mempresentasikan 23,3 dari kira-kira 6 milyar penduduk dunia. Atau satu banding empat.

Sedangkan Cina masih akan terpuruk pada jumlah 20,5%. Setelah 20 tahun atau sekitar tahun 2020 nanti Islam diperkirakan akan menduduki papan atas, yang diperkirakan telah menjadi kaya raya, dengan jumlah sensus sekitar 2,503 milyar penduduk, dari jumlah keseluruhan sekitar 7,713 milyar atau sama dengan 30,6%. Sedangkan Kristen akan mengalami penurunan ke peringkat kedua dengan jumlah pengikut sekitar 2,016 milyar atau 26,2%, Cina akan mengalami pertambahan penduduk sedikit sekitar 1,481 milyar atau sama dengan 17,9%.

Kecemasan Barat terhadap grafik statistika penyebaran peradaban ini, nanti sampai tahun 2100 juga semakin bertambah, jika khayalannya dikembangkan sebagai berikut:

1. Jumlah muslim akan mencapai 4,412 milyar dari jumlah keseluruhan kira-kira 11,011 penduduk dunia. Atau kira-kira akan ditemukan satu muslim dalam setiap dua setengah orang (sepuluh orang dalam setiap 25). Dengan kata lain artinya Islam akan mencapai 40,1% dari jumlah penduduk dunia.
2. Kristen akan menduduki peringkat kedua tapi dengan perbedaan yang mencolok dibanding fase-fase dimuka dengan hanya mengantongi 20,2% jumlah penduduk.
3. Untuk selain dua agama ini, termasuk juga aliran-aliran kepercayaan akan mencapai sekitar 26,2% dari jumlah pengisi sumpeknya dunia.

Jika saja kita maklum dengan rasionalisasi dan pengembangan praduga-praduga statistika angka diatas, maka sangatlah mafhum kenapa Islam dan Asia begitu mengerikan di masa-masa yang akan datang bagi Barat.

Teori (sasi) “Benturan Peradaban”

Sejarah manusia adalah sebuah sejarah peradaban, sebab sulit rasanya untuk mengatakan bahwa perkembangan kemanusiaan dengan term yang lain. Menurut Samuael P. Huntington, ide atau terminologi peradaban telah berkembang pada abad ke 18, dimana para pemikir Perancis menggunakan term tersebut untuk membedakannya dengan konsep 'barbarisme'. Masyarakat berperadaban (civilized society) dibedakan dengan masyarakat primitif dengan faktor pembeda bahwa masyarakat berperadaban adalah masyarakat yang settled, urban, serta literate. Dan masyarakat yang dianggap berperadaban dianggap sebagai masyarakat yang 'baik' atau 'unggul', sementara masyarakat yang tidak berperadaban disebut sebagai masyarakat yang 'tertinggal' atau 'buruk'6) .

Pada perkembangan selanjutnya, konsep 'peradaban' ini dijadikan standarisasi untuk menilai masyarakat, dimana bangsa-bangsa Eropa sekitar abad 19 telah mengerahkan banyak pakar intelektual, diplomat serta para ahli politik -dengan mengacu pada kriteria- semacam itu untuk meneliti serta menilai bangsa-bangsa diluar Eropa yang dianggap telah berperadaban sehingga dapat diterima dalam sistem internasional yang telah didominasinya. Namun pada waktu yang bersamaan, masyarakat pada umumnya sebenarnya telah mebicarakan 'peradaban' dalam koridor yang lebih umum. Dalam artian mereka menolak konsep peradaban yang dianggap sebuah bentuk masyarakat yang ideal atau yang cukup ideal serta beranggapan bahwa tidak ada standar tunggal yang dapat dijadikan ukuran bahwa suatu masyarakat adalah berperadaban, sementara yang lain belum. Hal demikian didasarkan pada anggapan bahwa setiap masyarakat memiliki bentuk peradabannya sendiri berbeda dengan yang lain. Sebab standarisasi yang tunggal akan menjebak serta akan menghasilkan anggapan yang 'merendahkan' kepada masyarakat yang lain.

Selanjutnya, masih menurut Huntington, bahwa ada kesama-miripan antara 'peradaban' dengan 'kebudayaan', yakni kedua-duanya merujuk pada keseluruhan cara hidup (way of life) masyarakat. Sebuah peradaban adalah kebudayaan dalam konteks yang lebih umum, dan kedua-duanya sama-sama mengadung 'values, norms, institutions, and mode of thingking to wich successive generations in a given society have attached primary importance'. Bagi Braudel, sebagaimana dikutip Huntington, peradaban adalah 'a space, a cultural area' , juga 'a collection of cultural characteristics and phenomena'. Berbeda pula apa yang dikatakan oleh Wallerstain, dimana dia mengatakan bahwa peradaban adalah 'a particular concatenation of worldview, customs, structures, and culture (both material and high culture) wich forms some kind of historical whole and wich coexist (if not simultaneously) whith other varieties of this phenomenan'7) .

Sementara menurut Toynbee bahwa peradaban adalah sesuatu yang bersifat lebih komperehensif, 'comprehend without being comprehended by others, a civilization is a totality', sebagaimana pula dikatakan oleh Melko bahwa peradaban 'have a certain degree of integration. Thier parts are defined by their relationship to each other and to the whole. If civilization is composed of states, these states will have more ralation to one other than they do to states outside the civilization. They might fight more, and engage more frequently in diplomatic relations. They will be more interdependent economically. There will be pervading aesthetic and philosophical currents'8).

Berakhirnya perang dingin (cold war) menghidupkan imajinasi beberapa kalangan menyangkut tatanan dunia baru pasca-keruntuhan komunisme yang ditandai dengan diruntuhkannya tembok Berlin yang sekaligus menandai keruntuhan suzereinitas Cramlin (Moskow) terhadap negara-negara Blok komunis. Setidaknya keruntuhan tembok Berlin itulah yang kemudian memantik Francis Fukuyama menulis buku monumentalnya, The End of History and The Las Standing Man pada tahun 1989. Versi awal buku itu sendiri mulanya muncul dalam artikel bertajuk “The End of History” yang dimuat dalam jurnal National Interest edisi musim panas tahun 1989.

Tesis dasar Fukuyama berangkat dari asumsi akan terwujudnya impian mendiang Woodrow Wilson tentang dunia yang westernized, damai, demokratis dan menganut free market (pasar bebas). Menurutnya dengan runtuh dan cerai berainya Blok Timur yang komunis maka tatanan dunia baru akan diatur oleh sang pemenang, yakni Blok Barat dengan ideologi kapitalisme dan pasar bebas. Sebuah blok kepentingan yang senantiasa mengkampanyekan demokrasi dan perdamaian dunia.

Optimisme demikian sayangnya tidak mampu meyakinkan Samuel P. Huntington, seorang pengajar ilmu Politik di Harvard. Menurutnya, masa depan sebagaimana digambarkan oleh Fukuyama akan sulit terwujud terlebih jika memperhatikan fenomena konflik yang muncul di berbagai belahan dunia. Dan fatalnya, konflik tersebut memperlihatkan kecenderungan kristalisasi pertentangan antara Barat dan Non-Barat. Dus, siaran CNN mengenai pecahnya konflik di Bosnia, Somalia, serta maraknya gerakan-gerakan ekstrim yang mengatasnamakan sentimen-sentimen agama, etnik ataupun komunalisme lainnya cukup menjadi indikator akan munculnya “garis panas” yang akan memecah kedamaian pasca runtuhnya komunisme.

Sebagai sebuah preskripsi ilmiah, tesis Huntington bisa jadi lumrah karena memang berbagai belahan dunia mengalami persoalan dalam hal mengelola kemajemukan. Bedanya terletak pada munculnya Islam politik sebagai mata rantai yang menyambungkan tidak saja ekstrimisme gerakan politik namun juga sentimen anti-Barat yang mengental dengan persebaran yang begitu meluas melampaui batas-batas geografi negara. Karenanya, masa depan dunia bagi Huntington akan diwarnai oleh benturan peradaban sebagai akibat dari persinggungan dua ideologi besar, Barat dan Non-Barat. Tesis yang mengerikan tentunya. [ ]

Wallahua’lam Bisshawab